Kamis, 12 November 2009

POTENSI EKOWISATA AIR TERJUN KHAYANGAN DAN OBYEK WISATA KETEP

BAB I. PENDAHULUAN

A.Latar belakang
Ekowisata termasuk salah satu bentuk kegiatan wisata khusus karena ekowisata ini merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian alam sebagai sumberdaya pariwisata.
Potensi kawasan ekowisata di Indonesia sangat besar. Obyek tersebut tersebar baik di darat (dalam kawasan hutan konservasi) maupun di laut (dalam bentuk taman nasional laut). Dari berbagai kawasan konservasi tidak hanya memperlihatkan keunikan tetapi juga keragaman obyek merupakan potensi besar pengembangan ekowisata. Masing-masing dari obyek wisata ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi para wisatawan (Damanik 2006).
Salah satu daerah yang berpotensi menjadi ekowisata adalah Air Terjun Kayangan dan Obyek Wisata Keteb. Kedua obyek wisata ini terletak di Kabupaten Boyolali, berada di jalur wisata SoSeBo (Solo, Selo, Borobudur) yang terletak di lereng selatan Gunung Merapi dan Merbabu.
Air terjun Kedung Kayang atau biasa juga disebut air terjun Kayangan terletak di Desa Klakah Kec.Selo. Obyek wisata ini terletak di Desa Klakah berjarak 5 km ke arah barat dari Kecamatan Selo. Merupakan panorama pemandangan alam yang berupa air terjun yang terletak diantara 2 kabupaten, yaitu Boyolali dan Magelang. tempat ini juga mempunyai potensi untuk aktifitas camping, hiking, climbing. Adapun fasilitas yang ada adalah homestay dan pemandangan alam. Air terjun Kedung Kayang terletak dijalur Blabak-Boyolali ketinggian kurang lebih 40 m.dilereng gunung Merapi tepatnya di Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan kurang lebih 19 km dari Blabak.
Obyek wisata ketep memiliki daya tarik berupa udaranya yang dingin dan hijauan tanaman mulai dari tanaman hutan yang melingkari lima gunung , yaitu Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Perbukitan Menoreh, dan Gunung Sindoro sampai tanaman pertanian sebagian besar sayuran, dan perkampungan di lereng-lereng gunung, makin memberi panorama kedekatan dengan alam bagi orang yang lagi gerah dengan kesibukan kota.
Bukit Ketep yang dikenal sebagai objek wisata baru oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, bukan sekadar objek wisata "jadi-jadian" yang sering kali terbengkalai karena hanya sekadar mengejar target proyek. Bukit Ketep itu sendiri memang sudah indah. Kawasan yang mirip Puncak di Jawa Barat ini benar-benar merupakan perbukitan yang masih alami, memberi udara segar, dan nuansa pedesaan. Bukit Ketep yang berada dalam wilayah Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ini tidak jauh jaraknya dari Candi Borobudur. Inilah yang kemudian menyebabkan banyak pengusaha pariwisata menjadikan paket wisata satu hari Ketep-Borobudur.
Gunung Merapi sudah tidak asing lagi terdengar bagi warga yogyakarta, magelang, dan sekitarnya. Gunung Merapi dengan kekokohannya mempunyai daya tarik tersendiri yang membuat orang semakin penasaran ingin melihat keindahan dan kekokohan Gunung Merapi tersebut. Gunung Merapi yang terletak di antara Kota Yogyakarta dan Jawa Tengah (Magelang) semakin hari semakin banyak pengunjung yang berminat ingin melihatnya termasuk wisatawan luar negeri.

B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan dapat mengenal potensi ekowisata di daerah air terjun Khayangan dan obyek wisata Ketep.
















BAB II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian
Praktikum dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2007 di rute wisata Sosebo yaitu Salatiga-Ampel-Cepogo-Selo-Ketep-Kopeng-Salatiga.
B. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah teropong

C. Metode Kerja
Metode yang dilakukan adalah dengan observasi langsung ke obyek wisata Ketep dan air terjun Khayangan.




















BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Dari observasi secara langsung yang sudah dilakukan, dapat diperoleh hasil pengamatan yaitu obyek wisata air terjun Khayangan (Gambar 1). Di tempat ini banyak dijumpai sampah plastik yang berceceran dan berbagai tulisan-tulisan yang bersifat vandalisme terdapat di sepanjang jalan menunju Air Terjun Khayangan. Selain itu medan yang dilampaui menuju lokasi air terjun sangat sulit.







Selain melakukan observasi di obyek wisata air terjun Khayangan, juga dilakukan pengamatan di obyek wisata Ketep (Gambar2). Obyek wisata ini memiliki udara yang sejuk dengan pemandangan serba hijau yang dapat dilihat dari obyek wisata Ketep. Untuk dapat melihat pemandangan alam yang lebih jelas, di tempat ini juga banyak penduduk lokal yang menyewakan teropong.
Di bagian sepanjang jalan obyek wisata terdapat banyak warung-warung yang menjual berbagai makanan maupun souvenir dan di bagian bibir obyek wisata terdapat tanaman semusim.


B. Pembahasan

Air Terjun Khayangan
Pada umumnya air terjun terletak di daerah dataran tinggi, obyek wisata air terjun Khayangan merupakan obyek ekowisata yang terletak di dataran tinggi dengan keindahan panorama alam, udara yang sejuk dan tempat yang masih alami membuat tempat wisata ini diminati oleh para pengunjung. Namun karena terletak di dataran tinggi, hal ini dapat menyebabkan kesulitan para wisatawan dalam menjangkau daerah ini tanpa adanya fasilitas yang menunjang. Obyek wisata air terjun dalam obyek wisata ini medan yang ditempuh untuk mencapai bagian bawah air terjun masih sangat sulit, sehingga hanya dilakukan oleh para wisatawan yang mampu saja.
Banyaknya pengunjung yang menikmati obyek wisata air terjun Khayangan dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya masalah turunnya kualitas lingkungan di daerah wisata air terjun Khayangan. Turunnya kualias lingkungan dapat diakibatkan oleh masalah pencemaran lingkungan berupa sampah dari pengunjung yang ada disepanjang perjalanan menunju lokasi tempat lokasi air terjun. Selain itu perusakan yang bersifat vandalisme oleh pengunjung dengan cara mencorat-coret batang pohon, jalan ataupun batu besar yang berada pada lokasi air terjun. Perlunya pengawasan terhadap pengunjung di lokasi wisata agar dapat membangun kesadaran untuk dapat lebih ramah lingkungan serta tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu kelestarian alam.
Untuk mengatasi masalah sampah juga dapat dilakukan dengan pemilahan atau pemisahan sampah organik dan anorganik dengan menyediakan tempat sampah organik dan anorganik  disetiap kawasan yang sering dikunjungi wisatawan.
Untuk mengatasi hal-hal yang bersifat vandalisme tersebut dapat dikurangi dengan cara memberikan papan yang bertuliskan perintah untuk tidak melakukan aksi mencorat-coret dan dapat juga dilakukan dengan memberikan solusi berupa tempat khusus yang disediakan oleh pengurus tempat wisata untuk area berekspresi dengan tulisan sebagai pencegahan kerusakan lingkungan.
Secara geologis keadaan alam di sekitar air terjun Khayangan rawan terhadap erosi dan longsor. Oleh karena itu upaya konservasi sangat diperlukan dalam menjaga kelestarian alam disekitar air terjun. Hal ini dapat dilakukan dengan penanaman tanaman penahan erosi dan longsor pada daerah sekitar air terjun yang cocok dengan keadaan geografis dan dapat tumbuh di daerah dataran tinggi seperti di daerah obyek wisata Khayangan.
Pembangunan camping ground atau area Outbound dapat difungsikan untuk mengurangi beban yang ada pada obyek wisata air terjun, selain itu dapat pula dikembangkan wisata budaya berupa tari tradisional yang khas seperti tari jatilan. Pembangunan ini dapat dijadikan penopang untuk menjaga kelestarian alam dan keberadaan obyek wisata air terjun, selain itu dapat menjadi daya tarik tambahan obyek wisata air terjun Khayangan.

Obyek Wisata Ketep
Obyek ekowisata ini merupakan obyek wisata yang banyak diminati para wisatawan karena merupakan wilayah perbukitan yang masih alami, memberi udara segar dengan nuansa pedesaan.
Pengunjung obyek wisata ini dapat menikmati keindahan alam dari atas bangunan obyek wisata ketep. Obyek wisata ini menyuguhkan pemandangan, udara segar, suasana sejuk dan estetika yang menarik para pengunjung. Managemen obyek ekowisata ini dapat memperkecil kontak langsung wisatawan dengan daerah wisata, karena wisatawan disuguhkan pemandangan dan estetika sehingga dampak menurunnya kualias lingkungan yang ditimbulkan akibat kontak langsung wisatawan dengan alam dapat diperkecil menjadi dampak setempat.
Pemandangan obyek wisata Ketep didominasi oleh hijaunya pemandangan perkebunan dan lahan pertanian. Hal ini dapat dikembangkan apabila pemerintah atau pengelola obyek wisata dapat bekerja sama dengan penduduk sekitar untuk menanam berbagai tanaman yang bervariasi sehingga pemandangan yang dapat dinikmati oleh wisatawan tidak hanya monoton berwarna hijau.
Semakin banyaknya warung-warung yang dibangun mendekati areal obyek wisata dapat mengurangi estetika. Tempat yang dulunya merupakan lahan pertanian disulap menjadi tempat untuk jualan oleh penduduk lokal, ini juga dapat mengakibatkan rawan erosi. Tanah sekitar yang sering diinjak-injak oleh wisatawan juga merupakan contoh dari beberapa penyebab erosi. Untuk mengatasi masalah tersebut harus dilakukan lagi diskusi antara pihak pengelola dengan perwakilan dari penduduk lokal, guna memperoleh jalan tengah yang tidak merugikan salah satu pihak.

Fasilitas yang ditawarkan oleh para mendukung obyek wisata ini seperti tempat duduk dan bersantai, tempat menikmati pemandangan, persewaan teropong dan berbagai penjual sovenir dan penjual makanan khas yang menarik pengunjung. Namun hal ini dapat menjadi potensi perubah susunan tanaman pendukung obyek wisata yang nantinya akan berdampak negatif terhadap keberadaan obyek wisata Ketep. Sebagai contohnya tanaman musiman yang ditanam sepanjang bibir obyek wisata seperti tanaman jagung. Tanaman ini dipergunakan penjual untuk mempermudah pelayanan terhadap pengunjung, namun hal ini dapat menjadi potensi erosi dan dapat merusak estetika. Perlu adanya kerjasama dengan masyarakat sekitar untuk tetap melestarikan obyek wisata ini.






















BAB IV. KESIMPULAN

Obyek wisata air terjun Khayangan dan Ketep memiliki potensi yang besar untuk terus dikembangkan sebagai obyek ekowisata. Perlu adanya pengaturan dan penanganan lebih lanjut kaitanya dengan masih banyaknya masalah yang ada di obyek wisata air terjun Khayangan dan obyek wisata Keteb.

Pengukuran Kepadatan Lalat di Area TPA Ngronggo Salatiga

Pengukuran Kepadatan Lalat di Area TPA Ngronggo Salatiga


I.PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Ngronggo terletak di kelurahan  Kumpulrejo, kecamatan Argomulyo, Salatiga. Dari data yang diperoleh, sampah rumah tangga yang dibuang di TPA Ngronggo mencapai 9 ton atau 280 m3 dalam sehari. Sistem yang digunakan dalam mengelola sampah adalah control landfill, yakni sampah yang telah dipadatkan diuruk kembali ( Anonim1 2007 ). TPA Ngronggo merupakan salah satu tempat yang memiliki populasi lalat yang padat.
Lalat merupakan serangga dari ordo Diptera yang mempunyai sepasang sayap biru berbentuk membran. Semua bagian tubuh lalat rumah bisa berperan sebagai alat penular penyakit (badan, bulu pada tangan dan kaki, feces dan muntahannya). Kondisi lingkungan yang kotor dan berbau dapat merupakan tempat yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan bagi lalat rumah (Ahmad 2002).
Siklus Hidup Lalat dalam kehidupan lalat dikenal ada 4 (empat) tahapan yaitu mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa. Lalat berkembang biak dengan bertelur, berwarna putih dengan ukuran lebih kurang 1 mm panjangnya. Setiap kali bertelur akan menghasilkan 120–130 telur dan menetas dalam waktu 8–16 jam .Pada suhu rendah telur ini tidak akan menetas (dibawah 12 –13 ºC). Telur yang menetas akan menjadi larva berwarna putih kekuningan, panjang 12-13 mm. Akhir dari phase larva ini berpindah tempat dari yang banyak makan ke tempat yang dingin guna mengeringkan tubuhnya, Setelah itu berubah menjadi kepompong yang berwarna coklat tua, panjangnya sama dengan larva dan tidak bergerak. Phase ini berlangsung pada musim panas 3-7 hari pada temperatur 30–35 º C, kemudian akan keluar lalat muda dan sudah dapat terbang antara 450–900 meter. Siklus hidup dari telur hingga menjadi lalat dewasa 6-20 hari Lalat dewasa panjangnya lebih kurang ¼ inci, dan mempunyai 4 garis yang agak gelap hitam dipunggungnya. Beberapa hari kemudian sudah siap untuk berproduksi, pada kondisi normal lalat dewasa betina dapat bertelur sampai 5 (lima) kali. Umur lalat pada umumnya sekitar 2-3 minggu, tetapi pada kondisi yang lebih sejuk biasa sampai 3 (tiga) bulan Lalat tidak kuat terbang menantang arah angin (Rudianto 2002).
Populasi lalat rumah yang banyak akan menyebabkan gangguan kepada manusia dan dapat menjadi vektor pembawa penyakit kepada manusia seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
Menurut Rudianto (2002), penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat antara lain :
1. Desentri, penyebaran bibit penyakit yang dibawa oleh lalat rumah yang berasal dari sampah, kotoran manusia/hewan terutama melalui bulu-bulu badannya, kaki dan bagian tubuh yang lain dari lalat dan bila lalat hinggap ke makanan manusia maka kotoran tersebut akan mencemari makanan yang akan dimakan oleh manusia.
2. Diare, cara penyebarannya sama dengan desentri dengan gejala sakit pada bagian perut, lemas dan pecernaan terganggu.
3. Typhoid, cara penyebaran sama dengan desentri, gangguan pada usus, sakit pada perut,
sakit kepala, berak darah dan demam tinggi.
4. Cholera, penyebarannya sama dengan desentri dengan gejala muntah-muntah, demam,
dehidrasi.
Lalat banyak jenisnya tetapi paling banyak merugikan manusia adalah jenis lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau (Lucilia seritica), lalat biru (Calliphora vomituria) dan lalat latirine (Fannia canicularis).

B.Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur tingkat kepadatan lalat yang ada di area TPA Ngronggo dengan umur sampah baru, umur sampah sedang dan umur sampah lama, pintu masuk, tegalan dan pemukiman. Selain itu juga mengidentifikasi jenis lalat dan faktor ekologi yang mendukung populasi lalat di area TPA.








II.BAHAN DAN METODE

A.Waktu dan Tempat Penelitian
Praktikum dilaksanakan pada 26 Februari 2008 dan 4 Maret 2008 di TPA Ngronggo dan di Laboratorium AB.4 Universitas Kristen Satya Wacana.
B.Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah fly grill, higrotermometer, lux meter, botol dan stopwatch. Sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.
C.Metode Kerja
C.1 Penghitungan kepadatan lalat dan faktor aboitik.
Fly grill yang ada dipasang seperti pada gambar 1, kemudian diletakkan pada tempat yang telah ditentukan pada daerah yang akan diukur. Kemudian dalam waktu 30 detik, dihitung jumlah lalat yang hinggap pada fly grill. Setiap lokasi pengambilan sampel dilakukan 10 kali penghitungan. Kemudian dianalisis hasil yang didapat dengan cara menghitung rata-rata dari 5 data tertinggi. Suhu, kelembaban dan intensitas cahaya pada tiap lokasi pengambilan sampel diukur dengan menggunakan termohigrometer dan lux meter.









Gambar 1. Fly grill untuk menghitung kepadatan lalat




C.2. Identifikasi lalat
Lalat yang didapat dari TPA Ngronggo dipilih jenis yang berbeda (dilihat dari morfologinya) dan dimasukkan dalam botol yang telah berisi alkohol 70%, untuk keperluan analisis. Sampel lalat yang didapatkan kemudian dibawa ke laboratorium dan dianalisis spesiesnya dengan menggunakan kunci identifikasi serangga.


























III.HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Pengamatan
Hasil identifikasi lalat yang ada di TPA Ngronggo :
1.Lalat Hijau
Ordo : Diptera
Famili : Calliphoridae
Genus : Lucilia
Spesies : L. illustris
2.Lalat rumah (spesies paling banyak)
Ordo : Diptera
Famili : Muscidae
Genus : Musca
Spesies : M. domestica
3.Lalat besar
Ordo : Diptera
Famili : Muscidae
Genus : Stomoxys
Spesies : S. calcitrans (L)

B.Pembahasan
Dari hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa spesies Musca domestica (lalat rumah) merupakan spesies yang paling banyak ditemukan di TPA Ngronggo. Hal ini dapat dikarenakan sampah yang terdapat di TPA sebagian besar merupakan sampah rumah tangga. Lalat rumah ini mengandalikan insting tertarik pada bau-bau yang khas yaitu pada sampah yang membusuk.
Jenis lalat hijau atau L. illustris juga ditemukan di TPA Ngronggo walaupun dengan jumlah yang tidak sebanyak M. domestica. Menurut Sri (1979), lalat jenis L. illustris ini memakan nektar dan benda busuk. Hal ini dapat dipastikan bahwa di TPA Ngronggo merupakan tempat menyediakan banyak makanan bagi lalat hijau.
Jenis lalat S. calcitrans (L) merupakan lalat yang memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibanding dengan L. illustris dan M. domestica. Jenis lalat ini memiliki warna tubuh hitam sampai kecoklatan dan mata berwarna mengkilap. Menurut Cristina (1991), induk dari S. calcitrans (L) biasanya meletakkan telur di permukaan daun atau tempat-tempat yang terletak di atas permukaan air. Larvanya bersifat akuatik, pada dewasa jantan sering terdapat pada bunga-bunga untuk mengambil pollen/nektar. Sedangkan pada spesies betina menghisap darah dan sering sebagai hama penting bagi manusia atau binatang seperti pada kuda, sapi, kijang dan sebagai vektor penyakit. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa spesies S. calcitrans (L) betina sering hinggap pada tubuh sapi-sapi yang digembalakan di area TPA Ngronggo dan dapat menjadi hama dengan menghisap darah sapi.
Kepadatan lalat yang paling tinggi terdapat pada lokasi TPA dengan sampah yang baru, dengan nilai rata-rata kepadatan mencapai 152,6 individu. Dari hasil interpretasi kepadatan lalat ini sangat tinggi. Di pemukiman yang jaraknya ± 500 meter dari lokasi TPA juga memiliki jumlah individu lalat yang padat. Selain faktor ketersediaan makanan bagi lalat di pemukiman (makanan manusia atau sisa makanan), menurut Anonim2 (2007), lalat juga dapat terbang jauh mencapai 1 kilometer. Hal tersebut juga memungkinkan lalat di TPA untuk dapat berada di area pemukiman.
Pada area rumput gajah dan tegalan juga terdapat populasi lalat yang tinggi, hal ini dapat disebabkan rumput sering dijadikan tempat lalat meletakkan telur dan berkembangnya larva lalat.
Musuh alami (predator) lalat adalah kumbang, kutu dan lebah. Namun keberadaan predator ini di TPA tidak dapat efektif menekan populasi lalat, hal ini dapat dikarenakan pertumbuhan predator lalat yang umumnya lebih lambat dibanding pertumbuhan lalat di area TPA.
Peran sampah sebagai sumber makanan dan tempat perindukan
Lalat di TPA Nggronggo memiliki jumlah populasi yang padat (tabel 2), hal ini dapat dikaitkan dengan faktor makanan yang paling disukai lalat yaitu pada makanan manusia sehari-hari seperti gula, susu, makanan olahan, kotoran manusia dan hewan, buah-buahan,darah serta bangkai binatang. Makanan yang disukai ini sangat mudah ditemukan di TPA Ngronggo., tanpa air lalat hanya hidup 48 jam saja. Menurut Ahmad (2002), lalat makan paling sedikit 2-3 kali sehari.
Peran flora di TPA Nggonggo sebagai tempat perindukan
Padatnya populasi lalat di TPA juga dapat dikaitkan dengan faktor tempat perindukan lalat. Tempat yang disenangi lalat sebagai tempat perindukan adalah tempat yang basah seperti sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk, kotoran yang menumpuk secara kumulatif (dikandang).
Peran leachit dan kotoran organik
Tempat perindukan lalat rumah dapat juga berada pada kotoran hewan yang lembab dan masih baru (normal nya lebih kurang satu minggu), permukaan air kotor yang terbuka. Dapat disimpulkan bahwa area TPA Ngronggo merupakan tempat yang sangat cocok sebagai habitat lalat. Di TPA terdapat kotoran sapi yang kotor berupa leachit yang disenangi lalat untuk berkembangbiak.
Tempat peristirahatan
Pada Waktu hinggap lalat mengeluarkan ludah dan tinja yang membentuk titik hitam. Tanda-tanda ini merupakan hal yang penting untuk mengenal tempat lalat istirahat. Lalat sering beristirahat di lantai dinding, langit-langit, rumput- rumput dan tempat yang sejuk. Juga menyukai tempat yang berdekatan dengan makanan dan tempat berbiaknya, serta terlindung dari angin dan matahari yang terik. Di dalam rumah, lalat istirahat pada pinggiran tempat makanan, kawat listrik dan tidak aktif pada malam hari. Tempat hinggap lalat biasanya pada ketinggian tidak lebih dari 5 (lima) meter (Rudianto 2002).
Perilaku lalat di TPA
Pada siang hari lalat bergelombol atau berkumpul dan berkembang biak di sekitar sumber makanannya. Penyebaran lalat sangat dipengaruhi oleh cahaya, temperatur, kelembaban. Untuk istirahat lalat memerlukan suhu sekitar 35º-40ºC, kelembaban 90%. Aktifitas terhenti pada temperatur <15ºC. Tahap kepadatan lalat rumah bergantung kepada banyak faktor antaranya penggunaan atau terdapatnya agen biologi seperti sejenis tebuan, populasi ternakan disesuatu lokasi karena dapat menyumbangkan peranan sebagai tempat perkembangbiakan dan istirahat lalat.
Faktor abiotik : Intensitas cahaya, suhu dan kelembapan udara.
Dari hasil pengamatan pada tabel 2 dapat diketahui bahwa intensitas cahaya yang ada di TPA Ngronggo cukup tinggi yaitu 20.700 lux – 31.300 lux. Hal ini sangat mempengaruhi populasi lalat yang ada di TPA, karena Lalat meperupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu menyukai cahaya. Pada malam hari tidak aktif, namun dapat aktif dengan adanya sinar buatan.
Pada hasil pengamatan faktor abiotik suhu, cahaya dan kelembaban (tabel 3) dapat diketahui bahwa rata-rata suhu di TPA Ngronggo adalah 32 oC. Menurut Anonim2. (2007), untuk istirahat lalat memerlukan suhu sekitar 35º-40ºC, hal ini sesuai dengan keadaan suhu TPA yang digunakan sebagai habitat lalat. Sedangkan kelembapan yang ada pada TPA Ngronggo adalah 46 %, tingkat kelembapan yang tinggi ini ini sangat mendukung siklus hidup lalat karena lalat menyukai tempat-tempat yang lembap. Dalam iklim panas larva lalat ditempat sampah dapat menjadi pupa dalam waktu hanya 3–4 hari (Anonim2 2007). Dengan memahami ekologi lalat juga dapat menjelaskan peranan lalat sebagai karier penyakit.

















IV.KESIMPULAN
Kepadatan lalat yang paling tinggi terdapat pada lokasi TPA dengan sampah yang baru, dengan nilai rata-rata kepadatan mencapai 152,6 individu. Di pemukiman yang jaraknya ± 500 meter dari lokasi TPA juga memiliki jumlah individu lalat yang padat. Pada area rumput gajah dan tegalan juga terdapat populasi lalat yang tinggi, Di TPA ngkronggo ditemukan tiga spesies lalat yaitu : 1. Lalat Hijau, 2. Lalat rumah , 3. Lalat besar. Factor ekologis yang mendukung berkembangbiaknya lalat di TPA Ngkronggo adalah, banyaknya sampah yang menjadi sumber makanan bagi lalat dan banyaknya tanaman di sekitar tempat sampah, yang digunakan lalat untuk menaruh telur.






















V.DAFTAR PUSTAKA

Anonim1. 2007. Jalan dan Drainase TPA Ngronggo Tak Optimal. Koran Suara Merdeka edisi 06 Maret 2007
www.suaramerdeka.com
Anonim2. 2007. Multifase lalat menuntut pengendalian yang multiaspek, terintegrasi antara fisik, biologis dan kimiawi. Agri Ternak. 01 December 2007
www.trobos.com
Ahmad 2002. Kawalan Lalat Rumah (Musca domestica) di Kawasan Ladang Peternakan Ayam.
www.jphpk.gov.my
Cristina. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Percetakan Kanisius. Yogyakarta
Rudianto, Heru dan .Azizah. 2002. Studi Tentang Perbedaan Jarak Perumahan ke TPA Sampah Open dumping dengan Indikator Tingkat Kepadatan Lalat dan Kejadian Diare (Studi di Desa Kenep Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan). Jurnal Unair.
www.journal.unair.ac.id
.Sri, E. 1979. Serangga (terjemahan). Tira Pustaka. Jakarta.

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT (Solanum lycopersicum) DAN CABAI (Capsicum annum L ) PADA PERLAKUAN KOLKISIN

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT (Solanum lycopersicum) DAN CABAI (Capsicum annum L ) PADA PERLAKUAN KOLKISIN

Andry S. Wulansari*, Linda Ambardini, Christina N. Manuputty, dan
Sri Kasmiyati**
Program Studi Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRAK
Tanaman tomat dan cabai merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Namun pemuliaan tanaman tomat dan cabai masih sangat terbatas, karena sedikitnya koleksi plasma nutfah untuk karakter-karakter tertentu. Salah satu cara pemuliaan tanaman yang dapat dilakukan adalah dengan teknik mutasi menggunakan kolkisin untuk mendapatkan tanaman poliploid dimana organisme memiliki tiga set atau lebih kromosom dalam sel-selnya. Kondisi poliploid mampu meningkatkan vigor bagian-bagian tanaman yang bersifat determinate, sehingga cocok untuk meningkatkan pertumbuhan organ vegetatif maupun konstituen biomassa pada tanaman. Penelitian bertujuan mengetahui respon pertumbuhan pada tomat dan cabai akibat perlakuan kolkisin meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun dan jumlah kloroplas dalam satu stomata .
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor perlakuan berupa penambahan kolkisin dengan aras konsentrasi 0%, 0.1%, 0.3% dan 0.5%. Kolkisin diberikan dengan cara diteteskan pada titik tumbuh apikal kecambah tanaman tomat dan cabai sehari 2 kali (pagi dan sore) selama 3 hari berturut-turut. Parameter pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun dan jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tomat dan cabai yang diberi perlakuan kolkisin memberikan respon pertumbuhan yang berbeda dengan tanaman yang tanpa perlakuan kolkisin. Pertumbuhan tinggi batang, jumlah dan panjang daun tanaman tomat dan cabai yang diberi kolkisin lebih lambat dibandingkan dengan kontrol. Jumlah kloroplas per sel stomata pada tanaman tomat dan cabai yang diberi perlakuan kolkisin sebesar 0.3% dan 0.5% menunjukkan indikasi karakter tanaman yang mengalami poliploid. Ukuran stomata tanaman tomat dan cabai juga mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi kolkisin yang diberikan.

Kata kunci : kolkisin, poliploid, tomat, cabai, pertumbuhan